SEJARAH FILSAFAT KONTEMPORER : PRANCIS
Author: K. Bertens, Re-write: Arnold Suwignyo
PENDAHULUAN
Kementerian Pendidikan cenderung mengurangi jam pelajaran filsafat secara drastis. Kelompok GREPH ( Groupe de Recherche sur l’enseignement de Philosophie ) dibentuk pada tahun 1974 dan dipimpin filsuf terkemuka Jacques Derrida, menyatakan bahwa pemerintah prancis bersikap negatif karena filsafat dianggap subversive dengan membina anak-anak muda menjadi orang yang kritis dan mungkin berhaluan kiri. Studi di universitas Prancis meliputi 3 siklus. Siklus pertama tediri dari 2 tahun dan diakhiri dengan diploma ( diplôme d’études universitaires générales ), yang dikenal dengan singkatan Deug. Siklus kedua terdiri dari 2 tahun pula, yaitu licence (tahun pertama) dan maitrise (tahun kedua), yang diakhiri dengan menyerahkan skripsi. Siklus ketiga terdiri dari sejumlah seminar dan terutama tesis doktor (thése de doctorat de troisieme cycle). Ijazah yang diperoleh setelah menyelesaikan siklus pertama dan kedua belum cukup untuk menjadi guru tetap. Untuk itu perlu diikuti ujian (concours, berarti ujian seleksi atau dengan sistem gugur) yang setiap tahun diselenggarakan oleh komisi yang sebagian besar keanggotaanya ditentukan oleh menteri pendidikan. Walaupun di Prancis umumnya tidak menjadi kebiasaan memakai gelar kesarjanaan (seperti Dr,Drs,B.A,M.A), ancient élève de l’école normale supérieure (mantan murid Ecole normale supérieure) merupakan gelar yang tidak jarang dapat dijumpai.


Henri Bergson ( 1859-1941 )
-
Durée dan kebebasan
Kritik tajam atas determinisme , dengan dimaksudkan pandangan yang menganggap manusia seluruhnya ditentukan (dideterminasi) oleh faktor-faktor tertentu, sehingga tidak ada tempat untuk kebebasan. Menurut Bergson kita harus membedakan dua macam waktu , yaitu temps (kata Prancis yang biasa untuk “waktu”), tetapi waktu dalam arti lebih fundamental adalah durée atau “durasi”, “lamanya” , yaitu waktu yang kita alami secara langsung. Durée tidak bersifat kuantitatif tidak mungkin memisahkan satu keadaan kesadaran dari keadaan-keadaan kesadaran lainnya. Kebebasan tidak dapat dibuktikan, tidak merupakan buah hasil analisis. Kebebasan hanya dapat dialami. Karena kesadaran adalah gerak, perkembangan peralihan terus-menerus sebab kesadaran bersifat dinamis dan kreatif – maka secara langsung saya mengalami kebebasan saya.
-
Materi dan Ingatan
Ingatan paling jelas tampak sebagai titik interaksi antara roh dan materi. Epifenomenalisme adalah pandangan yang mengatakan bahwa roh merupakan fenomena sampingan saja dari materi. Bergson membedakan dua macam ingatan. Pertama terdapat ingatan yang terdiri atas mekanisme-mekanisme motoris yang kira-kira sama dengan kebiasaan-kebiasaan. Berkat ingatan ini dapat kita hafalkan sesuatu, misal sebuah pelajaran atau sajak. Ingatan dalam arti ini hanya merupakan suatu disposisi badani untuk menjawab suatu rangsangan dengan cara tertentu. Ingatan macam lain ialah yang oleh Bergson disebut “ingatan murni”. Ingatan ini membentuk dan “merekam” angan-angan tentang setiap kejadian dalam hidup kita, tanpa mengabaikan satu detail pun. Ingatan dalam arti ini bersifat rohani dan mengakui adanya ingatan ini berarti mengikuti pula bahwa sebagaian dari hidup psikis kita berlangsung dibawah permukaan kesadaran. Otak membuat kita melupakan lebih daripada mengingat kembali.
Aphasia adalah gangguan untuk berbicara atau menggunakan kata-kata tertentu karena kerusakan dalam otak. Roh tidak dapat bekerja dan berpikir tanpa tubuh. Tetapi mungkin roh dapat hidup terus sesudah kematian tubuh, biarpun dalam keadaan tidak aktif.
-
Moral dan Agama
Moral tertutup : karena dikuasai oleh suatu moral yang hanya berlaku terhadap para warga masyarakt saja dan tidak terhadap mereka di luar masyarakat. Prinsip dasar moral tertutup ialah kerukunan di dalam kelompok dan permusuhan ke luar. Kesinambungan antara keluarga dan Negara memang ada katanya tetapi tidak ada kesinambungan antara Negara dan umat manusia. Keluarga dan Negara berhubungan erat satu sama lain, karena keduanya mempunyai moral tertutup. Sumber moral tertutup dengan segala aturan serta kewajibannya adalah desakan sosial (la pression sociale) atau desakan kerukunan , yang harus dimengerti sejalan dengan insting yang berperanan pada taraf “masyarakat binatang” sebagaimana tampak paling jelas pada serangga seperti semut dan lebah. Moral ini disebut terbuka, karena menurut kodratnya bersifat universal dan mencari kesatuan antara seluruh umat manusia. Moral ini bersifat dinamis, sebab tertuju pada perubahan masyarakat dan tidak bermaksud mempertahankan masyarakat seperti apa adanya.
Moral terbuka tidak berdasarkan kewajiban melainkan appél, imbauan, aspirasi. Moral terbuka mempunyai asal-usul supra-rasional. Moral ini berasal dari suatu émotion créatrice , suatu emosi kreatif yang mendorong tokoh-tokoh besar. Agama statis menunjang kesatuan sosial. Manusia tidak lagi mempunyai insting seperti binatang. Ia mempunyyai inteligensi (akal budi), tetapi karena itu ia cenderung mengutamakan kepentingannya sendiri. Untuk mengimbangi pengaruh akal budi ini manusia memiliki apa yang disebut Bergson la fonction fabulatrice: fungsi atau daya yang menhasilkan mitos-mitos dan boleh dianggap sebagaian dari fantasi. Agama berfungsi juga untuk membesarkan hati, agama statis sebagai reaksi terhadap pengaruh negatif dari akal budi, baik bagi individu maupun bagi masyarakat. Mistik adalah agama dinamis.
Maurice Blondel ( 1861-1946 )
Keyakinan Blondel ialah bahwa perbuatanlah yang memberi kesatuan dinamis kepada kehidupan manusia dan bukan pemikiran. Perbedaan antara volonté voulante (Inggris : willing will) dan volonté voulue (willed will) antara kehendak yang menghendaki terus dan kehendak yang mencapai apa yang dikehendakinya sehingga sudah puas. Kehendak yang menghendaki terus adalah kehendak manusia menurut bentuknya yang paling mendasar. Kehendak ini terarah pada apa yang dapat memenuhi keinginan manusia secara total dan definitif, sedangkan volonté voulue (harafiah: kehendak yang dikehendaki) adalah kehendak empiris yang terarah pada objek-objek konkret. Blondel berniat mempelajari dinamika volonté voulante yang merupakan dasar terdalam semua perbuatan konkret. Apabila Wahyu Allah disampaikan kepada manusia, ia tidak boleh ragu-ragu untuk menerimanya, sebab hanya di situ ia akan memperoleh kepenuhan bagi perbuatannya. Hanya di situ akan terwujud persesuaian (adéquation) antara kehendak konkret (volonté voulue) dan kehendak yang menghendaki terus (volonté voulante).
Pierre Teilhard de Chardin ( 1881-1955 )
Menurut para penganut kreasionisme tidak mungkin bahwa hidup berasal dari yang tidak hidup. Pemikir-pemikir Abad pertengahan bahwa makhluk-makhluk hidup secara spontan “tumbuh” dari barang mati. Aristoteles (yang belum sanggup mengadakan observasi teliti) berpendapat bahwa lalat misalnya tumbuh dari sampah. Dalam paham “penciptaan” dapat dibedakan dua aspek. Aspek pertama adalah “menciptakan” dipahami sebagai “menjadikan” , artinya yang diciptakan itu sama sekali bergantung pada Sang Pencipta. Aspek kedua adalah bahwa dunia mempunyai permulaan dalam waktu. Teolog besarAbad Pertengahan, Thomas Aquinas, berpendapat bahwa hal itu tidak dapat dibuktikan secara filosofis tetapi hanya diterima karena kesaksian Alkitab. Allah menjadi semua di dalam semua.
Gabriel Marcel ( 1889-1973 )
Salah satu ciri khas pemikiran Marcel adalah penolakannya terhadap filsafat sebagai system. Sistematisasi mau tidak mau akan mematikan pemikiran yang hidup. Metode filosofis, eksistensi adalah seluruh kompleks yang meliputi semua faktor konkret – kebanyakan kebetulan – yang menandai hidup saya. Yang khas bagi eksistensi ialah bahwa saya tidak eksplisit menyadari situasi saya itu. Saya adalah subjek yang mempunyai kesadaran, tetapi saya tidak menginsafi apakah artinya eksistensi saya dalam dunia. Tetapi supaya hidup saya dalam dunia mencapai arti sepenuh-penuhnya, perlu saya tinggalkan taraf prasadar itu dan menuju ke kesadaran sungguh-sungguh. Dari relasi-relasi yang semula dianggap sebagai nasib saya, perlu beralih ke suatu keadaan yang betul-betul saya terima secara bebas. Peralihan ini meliputi tiga fase : admiration (kekaguman) , réflexion (refleksi) , dan exploration (eksplorasi). Admiration yang mencakup baik keheranan maupun kekaguman , dalam refleksi kita harus membedakan dua tahap : refleksi pertama dan refleksi kedua. Refleksi pertama mempunyai ciri-ciri sebagai berikut : abstrak, analitis, objektif, universal, dapat diverifikasi. Refleksi kedua adalah hakiki bagi filsafat. Refleksi kedua tidak mengobjekkan tetapi berlangsung berdasarkan partisipasi atau boleh dikatakan juga berlangsung dalam suasana recueillement (permenungan) atau (mawas diri) dalam Bahasa inggris (recollection). Pada taraf pengenalan tiga fase dari metodenya ini sepadan dengan tiga cara pengenalan : sentio (saya rasa), cogito (saya berpikir), dan credo (saya percaya). Sedangkan pada taraf ontologis tiga fase ini sesuai dengan tiga tahap juga, yaitu exister (bereksistensi), avoir (mempunyai) dan être (Ada).
a. Ada dan Mempunyai
Dalam kehidupan biasa saya cenderung menyamakan “aku” (dan lebih-lebih orang lain) dengan apa yang saya (atau dia) punya. Relasi antara qui dan quid ( ada subjek yang mempunyai dan ada yang dipunyai ), relasi antara 2 kutub itu tidak bisa dibalik. Setidaknya ada 3 aspek dari relasi itu yang menarik :
Pertama, suatu ekslusivitas tertentu. Yang saya punya adalah milik saya bukan milik orang lain. Saya meng-claim atas apa yang aku punya.
Kedua, yang saya punya akan saya pelihara. Kalau tidak, relasi “mempunyai” akan lenyap. Bila milik saya hilang atau hancur , saya bukan pemilik lagi.
Ketiga, mempunyai berarti juga kuasa tertentu atas apa yang saya punyai.
Mempunyai selalu berarti juga : mampu untuk …. Tetapi anehnya, kuasa yang terkandung dalam milik itu gampang bisa berubah statusnya, sampai akhirnya si pemilik dikuasai oleh miliknya : Jutawan dikuasai oleh kekuasaannya, pemusik dikusai oleh pianonya , ilmuwan oleh laboratoriumnya. Di sini “keduaan” antara pemilik dengan barang miliknya mulai hilang: tapal batas antara “Ada” dan “mempunyai” mulai kabur.
b. Problem dan Misteri
Problem adalah masalah yang diajukan kepada saya dari luar. Misteri tidak berada di depan atau di luar saya tetapi dalam diri saya atau lebih tepat lagi saya sendiri termasuk misteri itu. Misteri bukanlah teka-teki yang tidak diketahui, karena orang belum mempunyai kunci yang dapat membukakannya. Beberapa contoh tentang misteri adalah misalnya inkarnasi, kehadiran, kejahatan, dunia, cinta serta pengenalan, dan teristimewa Ada.
-
Tubuh sebagai Tubuhku
1) antara saya dan tubuhku tidak terdapat struktur qui-quid seperti antara saya dan anjingku
2) tubuh tidak berada di luar saya seperti halnya dengan anjing
3) saya tidak merupakan “yang lain” terhadap tubuhku seperti saya memang merupakan “yang lain” terhadap anjingku
Tubuh adalah “alat absolut” artinya alat yang memungkinkan alat-alat tetapi tidak merupakan alat bagi sesuatu yang lain.
Ada 2 kutub : kutub yang menyiarkan pesan dan kutub yang menerima. Garis pemisah yang ditarik di sini antara “di luar” dan “di dalam” harus ditolak terutama tampak dari kenyataan bahwa “menerima” dalam hal perasaan tidak dapat sama dengan “menerima semata-mata pasif”. “Menerima” disini mungkin dimengerti sebagai partisipasi, membuka diri, memberikan diri.
-
Engkau absolut
Bukan pembuktian yang menjadi dasar untuk menerima Allah, melainkan imbauan yang berasal dari “Engkau Absolut” yang dijawab dengan kepercayaan. Dan harapan tidak menyangkut salah satu kejadian yang dinantikan untuk masa mendatang. Harapan adalah kesaksian kreatif tentang Engkau Absolut yang memegang saya dan meliputi saya, walaupun saya menghadapi banyak penderitaan dan kejahatan.


Jean Paul Sartre ( 1905-1980 )
a. Dua acara berada : être-en-soi dan être-pour-soi
être-en-soi ( being in itself ) Ada pada dirinya. être-en-soi tidak aktif, tidak pasif, tidak afirmatif, tidak negatif. être-en-soi itu sama sekali kontingen dan tidak mempunyai masa silam, masa depan; tidak mempunyai kemungkinan ataupun tujuan. Artinya , ada begitu saja, tanpa fundamen, tanpa diciptakan, tanpa dapat diturunkan dari sesuatu yang lain. Kontingen adalah lawan “niscaya” atau “mutlak perlu”. Bagi Thomas Aquinas dan Descartes , umpamanya , “dunia adalah kontingen” berarti”dunia bisa ada tapi bisa juga tidak ada”. Satu hal yang ditenkan Sartre adalah bahwa kesadaran sekali-kali tidak boleh disamakan dengan benda. être-pour-soi ( being for itself ) Ada bagi dirinya. être-pour-soi bukanlah benda dan berbeda secara radikal dengan être-en-soi; être-pour-soi mempunyai status yang sama sekali berlainan dengan être-en-soi. Yang satu tidak dapat diasalkan kepada yang lain.
Bagaimana dapat ita mengerti bahwa manusia tidak langsung sadar akan dirinya ? Apakah yang memungkinkan hal itu ? Saya melihat lukisan di dinding sana atau gelas berisi teh di meja sini : itu berarti, saya sadar bahwa saya bukanlah lukisan atau gelas. Untuk dapat melihat sesuatu diperlukan syarat mutlak : adanya jarak. Bila sesuatu dekat sekali dengan mata, apalagi bila sesuatu identik dengan mata (seperti misalnya retina atau selaput jala), saya tidak akan melihat apa-apa. Sebuah contoh lain lagi : Saya sementara mengetik; itu berarti, saya sadar akan diri saya sebagai orang yang mengetik, tetapi serentak saya juga sadar bahwa saya tidak identik dengan orang yang mengetik. Saya juga bisa berhenti mengetik dan berjalan-jalan atau membaca surat kabar misalnya. Negativitas adalah ciri khas être-pour-soi.
Darimana asalnya ketiadaan ? Jawabannya adalah bahwa ketiadaan muncul dengan manusia, dengan être-pour-soi. Manusia adalah makhluk yang membawa “ketiadaan”. Aktivitas khusus être-pour-soi adalah “menidak”. Sartre mengatakan pula bahwa manusia merupakan une passion inutile : suatu gairah yang sia-sia.
b. Kebebasan
Manusia adalah kebebasan. Manusia adalah satu-satunya makhluk dimana eksistensi mendahului esensi. Misalnya, gelas minum yang ada di depan saya mempunyai ciri-ciri tertentu. Benda ini dibuat dengan suatu tujuan tertentu. Tukang yang membikin gelas sebelumnya sudah tahu tentang apa yang akan ia bikin (tentang esensinya). Tetapi apakah manusia itu ? Apakah esensi atau kodratnya ? Itu tidak pernah dapat ditentukan, sebab manusia selalu mempunyai kemungkinan untuk mengatakan “tidak”. Sartre membedakan antara ketakutan (fear) dari kecemasan (anxiety); ketakutan mempunyai salah satu objek, yaitu benda-benda dalam dunia. Kecemasan menyangkut diri saya sendiri dengan menyatakan bahwa eksistensi saya seluruhnya bergantung pada diri saya. Kecemasan adalah kesadaran bahwa masa depan saya seluruhnya bergantung pada saya.
Manusia bisa menutup matanya bagi kebebasan dan melarikan diri dari kecemasan dan sering kali terjadi begitu. Melarikan diri dari kebebasan dan menjauhkan diri dari kecemasan serentak juga berarti adanya kesadaran (akan) kebebasan, kecemasan dan pelarian. Mauvaise foi (bad faith, sikap malafide) berarti manusia menipu dirinya, misalnya jika orang mengatakan “sifat saya begitu, apa boleh buat”.
Konsepsi tentang kebebasan ini menjadi salah satu alasan bagi ateisme Sartre. Seandainya Allah ada, kata Sartre, tidak mungkin saya bebas. Allah adalah subjek yang absolut. Kalau berhadapan dengan Allah, bagi manusia hanya ada dua kemungkinan : tunduk kepada-Nya dengan menjadi objek belaka, atau memberontak.
Dalam hubungan konkret dengan orang lain saya dapat melakukan dua hal. Saya bisa tunduk kepada orang lain dengan menjadikan saya objek bagi dia sebagai subjek. Hal ini terjadi dalam cinta dan masokisme. Tetapi saya juga bisa membuat dia menjadi objek bagi saya sebagai subjek. Inilah yang diusahakan dalam benci, sikap tak acuh, sadism, dan keinginan seksual (le désir)
Kehadiran menurut Husserl
Dalam kehadiran saya masih menahan waktu lampau yang disebut Retention dan saya sudah mendahului waktu depan yang disebut Protention. Misalnya menjadi mungkin mendengar suatu lagu, suatu melodi. Jika saya mendengar sebuah melodi, bukan saja saya mendengar nada yang berbunyi pada saat ini, melainkan dengan salah satu cara saya masih mendengar nada-nada yang sudah tidak berbunyi lagi (Retention) dan serentak juga dengan salah satu cara saya sudah mendengar nada-nada yang akan datang (Protention). Waktu lampau masih “hadir” dalam waktu sekarang dan waktu depan sudah “hadir” dalam waktu sekarang.
Persepsi dan Tubuh
Suatu perspektif menurut kodratnya tidak pernah absolut. Bila saya melihat sebuah rumah, umpamanya, saya melihat bagian depan atau bagian belakang, sebelah kiri atau kanan, bagian luar atau bagian dalam. Saya melihat semua perspektif itu, tetapi hanya satu demi satu. Tidak pernah mungkin suatu perspektif absolut, dimana semua perspektif tadi berkumpul bersama-sama.
Bahasa
Bagi empirisme Bahasa tidak lain daripada sejumlah fenomena fisiologis yang berlangsung menurut hukum-hukum kausal. Sebaliknya intelektualisme memandang Bahasa sebagai sistem tanda-tanda yang bertujuan untuk menyampaikan pemikiran batin seseorang kepada orang lain dan dalam proses itu tidak ada pengaruh apa pun dari sarana komunikasi atas pemikiran. Satu-satunya sumber makna adalah pemikiran. Bahasa hanya mungkin karena tingkah laku manusia bersifat ekspresif. Dengan parole parlée dimaksudkan Bahasa yang sudah menjadi milik bersama suatu masyarakat. Parole parlante dimaksudkan Bahasa yang asali yang mencetuskan makna baru. Bahasa ini sanggup mengatakan sesuatu yang belum pernah dikatakan. Parole parlante merupakan Bahasa dalam arti yang sebenarnya dan merupakan tempat lahir bagi Bahasa pada umumnya.